KEARIFAN TRADISIONAL SUKU MENTAWAI

KEARIFAN TRADISIONAL SUKU MENTAWAI
(Dirangkum oleh:Muhammad Rido)
A.   Artikel dan Bentuk-Bentuk Kearifan Tradisional
1.    Sistem Perladangan Di Mentawai
Masyarakat Mentawai adalah masyarakat tradisional yang masih mempertahankan kehidupan adat dan tradisi.  Hal ini tercermin pada upacara-upacara di setiap tahap proses perladangan yang merupakan mata pencaharian pokok penduduk.  Alat-alat serta sistem teknologi mereka pun dalam berladang dapat dikatakan masih tradisional, seperti: tegle, suki, lading,kampak.
    
      Satu hal yang pantas dipuji dalam sistem berladang  masyarakat Mentawai adalah kearifan tradisional mereka dalam memelihara alam lingkungan.  Masyarakat Mentawai tidak pernah mengenal adanya slash and burn (tebang dan bakar) yang dapat menimbulkan polusi udara atau, bahkan mungkin, kebakaran hutan, Berdasarkan kepercayaan yang diwarisi turun temurun, membakar pohon di hutan akan mengakibatkan kemarahan roh-roh penjaga hutan dan akan dapat mendatangkan penyakit bagi si pembakar atau pun keluarganya. Tanaman yang sudah ditebang maupun ditebas dibiarkan membusuk di tempatnya, tidak disingkirkan.  Namun pada kenyataannya hal itu justru berguna karena akhirnya menjadi pupuk alami bagi ladang mereka.  
Alasan sebenarnya mereka melakukan itu adalah untuk menghemat waktu dan tenaga, mengingat ladang yang mereka miliki terlampau luas dan ada di berbagai tempat.  Beberapa dari mereka beranggapan bahwa membersihkan semak-semak yang sudah ditebas atau batang kayu yang sudah ditebang merupakan pemborosan waktu dan tenaga saja.  Mereka pun tidak pernah menggunakan pupuk buatan, karena itupun dianggap sebagai pemborosan, karena harganya relatif mahal bagi mereka.
          Masyarakat Mentawai memiliki kearifan tradisi sendiri dalam mengolah ladang, ada ritual khusus yang tak boleh ditinggalkan, kalau ingin hasil ladangnya maksimal. Berikut tata cara pembukaan ladang di Muntei, Siberut Selatan, hasil penelitian Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang.
Berladang atau dalam bahasa Mentawai mumone merupakan salah satu upaya yang dilakukan masyarakat Mentawai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pembukaan lahan untuk ladang biasanya dilakukan oleh beberapa keluarga yang tergabung dalam satu uma.
          Tahap pertama dalam rencana pembukaan ladang adalah musyawarah di tingkat uma. Musyawarah ini dihadiri oleh seluruh anggota uma, yaitu para tetua uma dan anggota-angota yang lebih muda, terutama dari keluarga yang ingin membuka ladang. Musyawarah ini dipimpin oleh sikebukkat uma (kepala uma). Musyawarah tersebut bertujuan untuk mendapatkan kesepakatan mengenai lokasi dan luas lahan yang akan dibuka.
          Tahap kedua melakukan survei lapangan untuk mengetahui hal-hal seperti areal mana yang cocok, bagaimana kesuburan tanahnya, berapa luas lahan yang akan dibuka serta batas-batasnya Survei ini bisa makan waktu dua minggu.
Tahap selanjutnya musyawarah lagi. Hasil survei dibicarakan di uma, terutama untuk memfinalkan lokasi, luas ladang dan kejelasan batas-batas lahan, sekaligus membicarakan kapan punen pasibuluake’ atau panaki, serta proses pembersihan semak belukar dilakukan.  
Sebelum mulai membuka hutan atau menebang pohon-pohon, harus terlebih dahulu dilakukan upacara Panaki yaitu sebuah ritual meminta izin kepada roh-roh penjaga hutan. Masyarakat adat Mentawai meyakini bahwa ada sebuah kekuatan di luar manusia yang telah menjaga hutan dan alam di sekitarnya. Oleh sebab itu, setiap akan melakukan aktivitas di hutan termasuk menebang pohon harus terlebih dahulu meminta izin sebagai bentuk penghargaan manusia terhadap kekuatan di luar diri mereka yang telah ikut membantu menjaga alam bagi kelangsungan hidup manusia.
          Berladang merupakan aktivitas penting sebab merupakan salah satu cara pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Di Siberut, perladangan dibuka  di sekitar kawaan hutan, dapat pada lokasi yang berbukit-bukit (leleu) dan juga pada lokasi yang datar (su’suk). Namun meskipun demikian berdasarkan pengetahuan tradisional, ada beberapa kriteria atau pertimbangan yang harus dipenuhi ketika akan membuka kawasan perladangan, antara lain :
·       Tidak boleh membuka perladangan di lokasi yang curam, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya longsor.
·        Perladangan baru juga tidak akan dibuka di kawasan yang banyak terdapat pohon-pohon kayu yang bermanfaat untuk bahan bangunan atau rumah, sampan dan peralatan rumah tangga, dll.   

2.    Lakokaina (Mengkeramatkan Kawasan Alami)
Masyarakat Mentawai di Muntei mempercayai bahwa kawasan tertentu seperti hutan, sungai, gunung, perbukitan, hutan, laut, rawa dan sebagainya dijaga oleh mahluk halus yang disebut lakokaina. Mereka yakin lakokaina ini sangat berperan dalam mendatangkan, sekaligus menahan rezeki, karena itu harus dibujuk dan dihibur lewat punen atau lia. Untuk itulah punen pasibuluake’ diselenggarakan. Tapi, tak seorang Mentawaipun berani menyebut nama lakokaina, mereka takut kualat, artinya nenek moyang atau sateteumai (nenek moyang kami).  
          Punen Pasibuluakek diadakan di uma sibakkatpolag (pemilik ladang) dan dipimpin oleh sikebukkat uma serta dihadiri oleh semua anggota uma, dari yang paling tua sampai yang masih bayi. Para sinuruk (kerabat) dan tetangga dekat juga diundang untuk makan bersama.  Ayam dan babi disembelih dan dimakan ramai-ramai. Otcai (bagian) dibagi sama rata. Tak ada yang tak mendapatkannya, bahkan jiwa semua benda di tempat tersebut juga dikasi, supaya mereka tenang dan tidak mengganggu. Terutama sekali tentu buat teteu di puncak-puncak pohon. Mereka harus dibaik-baiki benar-benar, kalau tidak dia bisa marah dan mengubrak-abrik ladang yang akan dibuka, atau membuat semua tanaman mati tanpa sebab, atau yang lebih sadis, membiarkan tanaman tumbuh subur sehingga menimbulkan harapan di hati peladangnya, lalu membuat semua tanaman tersebut tak berbuah.
          Mengkeramatkan kawasan alami seperti, sungai, gunung, perbukitan, hutan, laut, rawa dan sebagainya secara tidak langsung masyarakat mentawai telah menjaga kawassan tersebut karena ada batasan-batasan tertentu untuk mengelola dan menjamahnya. Kearifan ini harus tetap dijaga dan dilestarikan karena dapat menjaga keberlangsungan kelestarian alam.

3.    Sistem Perbururuan Suku Mentawai
Berburu merupakan sebuah aktivitas kebanggaan kaum laki-laki Mentawai. Kebanggaan tersebut dapat dilihat dari pajangan tengkorak binatang buruan (abakmanang) di dalam uma. Selain sebagai ajang menguji keahlian dan ketrampilan menggunakan peralatan berburu (busur dan anak panah), berburu juga menjadi sebuah bentuk pengetahuan tradisional masyarakat adat Mentawai terhadap alam dan fenomenanya. Sebab berburu tidak dilakukan setiap saat, ada masa atau waktu tertentu yang dianggap baik untuk berburu, seperti perhitungan bulan. Berburu juga biasanya dilakukan sebagai penutup upacara atau pesta adat (puliaijat). Selain itu setiap kali berburu, berlaku tabu (kei-kei) yang harus dijalani oleh setiap orang yang ikut pergi berburu.
          Berburu juga dilakukan dengan upacara panangga yang maknanya sama dengan upacara panaki yaitu meminta izin terlebih dahulu kepada roh-roh penjaga hutan sebagai penghargaan dan rasa terima kasih.
          Kegiatan berburu di mentawai ini termasuk pada kegiatan konservasi karena memiliki aturan dan tatacara yang tepat. Perburuan ini dapat membuat populasi hewan yang ada dihutan  menjadi sehat karena dilakukan pada waktu-waktu tertentu serta mempertimbangkan ukuran, umur dan satwa-satwa tertentu saja.

B.   Strategi Pengembangan Ekowisata
        Kaerifan tradisional yang terdapat di Mentawai dapat dikembangkan menjadi kegiatan ekowisata, karena kearifan tradisional merupakan unsur dari kebudayaan yang merupakan salah satu dari prisip ekowisata. Kearifan tradisional tersebut harus dijaga dan dilestarikan, salah satunya adalah dengan mengembangkannya menjadi sebuah kegiatan ekowisata.
          Pengembangan ekowisata di Mentawai dilakukan untuk melestarikan  kearifan tradisional serta meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal dengan taetap memperhatikan daya dukung lingkungan. Kegiatan ekowisata juga dapat menciptakan kesadaran wisatawan akan perlunya konservasi atau menjaga lingkungan melalui kearifan masyarakat lokal dengan dikemas menjadi program ekowisata.
          Kegiatan ekowisata yang dikembangkan melibatkan peranan masyarakat lokal sebagai subjek atau sebagai penyelenggara kegiatan wisata dan sesuai dengan bentuk-bentuk kearifan tradisional yang ada dalam kehidupan masyarakat lokal yaitu, sistem perladangan, mengkeramatkan lingkungan alami, serta sistem perburuan.
1.    Berladang dengan masyarkat lokal
          Wisata berladang dengan masyarakat dilakukan sesuai dengan tatacara masyarakat tersebut menjalankan aktivitasnya di ladang. Wisatawan diajak untuk melakukan kegiatan yang sama dengan cara dikemas dalam bentuk-bentuk yang menarik.
2.    Traking di hutan
          Wisata bertualang di hutan dilakukan sesuai dengaan tatacara yang harus berlaku sesuai aturan-aturan suku mentawai. Sebelum memasuki kawasan hutan wisatawan diharuskan mengikuti upacara adat yang biasa dilakukan masyarakat setempat. Setelah itu wisatawan boleh memasuki hutan dengan didampinggi oleh penduduk lokal.
3.    Wisata berburu
          Wisata berburu dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati oleh masyarakat setempat. Wisata berburu hanya dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja karena harus memperhatikan keadaan populasi dan keadaan satwa yang akan diburu. Sebelum berburu wisatawan mengikuti upacara adat untuk meminta izin kepada roh-roh penjaga hutan untuk berburu yang dipandu oleh masyarakat lokal.
          Kegiatan wisata yang dikembangkan di Mentawai sesuai dengan Bentuk-bentuk kearifan tradisional serta melibatkan masyarkat lokal dalam pelaksanaan dan pengelolaannya sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat serat dapat meningkatkan pola pikir masyarakat tersebut dengan tidak menghilangkan kebiasaan yang positif seperti halnya kearifan tredisional yang selama ini mereka pertahankan.